.:: ASSALAMU'ALAIKUM PEMBACA YANG BUDIMAN * SELAMAT MEMBACA ARTIKEL-ARTIKEL KANG FULAN YA... SEMOGA MANFAAT ::.

Selasa, 19 April 2011

Cerita Hikmah dari Imam Malik


Suatu ketika seorang Qadhi (hakim) yang kagum pada kitab Muwaththo’ karya Imam Malik berencana menggunakan kitab beliau itu sebagai landasan yuridis utama dalam pengadilan. Sang Qadhi kemudian mendatangi Imam Malik untuk meminta persetujuan beliau perihal rencananya tersebut. Pada saat itu juga Imam Malik dengan tegas menolak ide Qadhi tersebut. Lantas Imam Malik berkata kepada Qadhi itu..
“Janganlah kau jadikan kitab ini sebagai landasan yuridis yang utama. Aku tidak mau kalau-kalau kalian mengagung-agungkan risalahku sementara risalah yang lebih agung yang berasal dari Rosululloh kalian lupakan.”
***
Pada suatu majlis ta’lim Imam Malik sedang menyampaikan tausiyahnya kepada murid-murid beliau. Lalu datanglah kholifah Harun ar-Rosyid dalam majlis itu. Karena kholifah datang belakangan maka ia pun harus duduk bersama-sama murid-murid Imam Malik yang lain. Sementara Imam Malik tetap melanjutkan tausiyahnya di atas podium.
Akhirnya Imam Malik pun selesai memberikan tausiyahnya. Kemudian beliau turun dari podium dan mempersilakan kholifah Harun ar-Rosyid untuk naik ke podium. Imam Malik sendiri lalu duduk bersama-sama muridnya. Kholifah yang heran dengan sikap Imam Malik ini lalu bertanya...
“Wahai Imam Malik mengapa kau persilakan aku berdiri di podium ini sementara engkau duduk di bawah sana?”
Mendengar pertanyaan kholifah ini Imam Malik tersenyum dan berkata, “Wahai kholifah, tadi ketika dalam majlis ta’lim aku adalah gurumu dan engkau adalah muridku. Dan sekarang majlis ta’lim telah usai, maka sekarang aku adalah rakyatmu dan engkau adalah pemimpinku.”
***
Suatu ketika kholifah Harun ar-Rosyid berkeinginan untuk memanggil Imam Malik agar mau mengajar di istana. Kemudian kholifah mengirimkan utusan ke Madinah untuk memanggil Imam Malik atas perintah kholifah. Singkat cerita, utusan itu pun tiba di Madinah dan langsung menemui Imam Malik. Kemudian ia sampaikan perintah dari kholifah kepada Imam Malik.
Dengan tegas Imam Malik menolaknya. Utusan tersebut yang heran dengan ketegasan Imam Malik bertanya kepada Imam malik...
“Wahai Imam Malik, mengapa engkau tidak bersedia memenuhi perintah kholifah?”
Imam Malik menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu didatangi bukan mendatangi.”

Sabtu, 16 April 2011

MUHAMMAD, KISAH HIDUP NABI BERDASARKAN SUMBER KLASIK


Muhammad, sebuah nama yang tak habis-habisnya disebut. Sejak kelahirannya 14 abad yang lampau, dunia telah berubah cukup drastis karenanya. Dipuji dan dihormati baik oleh umatnya  maupun penganut kepercayaan lain  karena kemuliaan akhlaknya dan kepemimpinannya. Statusnya sebagai nabi akhir zaman tak dapat dipungkiri adalah tanda kebesaran pribadinya. Tak habis-habisnya para cendekiawan menulis tentangnya. 

Muhammad, itulah judul buku biografi (shirah) yang disusun oleh Martin Lings alias Abu Bakar Sirajuddin ini. Barangkali biografi susunan Martin Lings ini adalah karya kesekian ribu dan bukanlah yang terakhir yang bercerita tentang kehidupan Nabi Besar ini. Namun bukan berarti biografi ini monoton saja. Justru untuk ukuran masa kini, Martin Lings memberikan sentuhan klasik tapi dituturkan secara modern pada buku ini. Apa pasal?

Masyarakat sekarang mungkin tak banyak yang tahu siapa penulis biografi Nabi Muhammad yang pertama kali. Dan melalui bukunya ini, selain menceritakan tentang Muhammad, Martin Lings sekaligus mengingatkan kita kepada sosok Ibnu Ishaq (85-151 H) dan Ibnu Hisyam (wafat 218 H). Ibnu Ishaq adalah penulis pertama biografi Nabi Muhammad dengan judul Shirah Rasululloh, dan Ibnu Hisyam adalah juga seorang penulis sejarah yang banyak mengambil sumber dari karya Ibnu Ishaq itu. Ibnu Hisyam sendiri menulis biografi Muhammad yang hingga sekarang banyak dijadikan bahan rujukan, hari ini kita menyebut karyanya Shirah Ibnu Hisyam

Ya, itulah sentuhan klasik yang penulis katakan tadi. Melalui dua karya biografi paling awal inilah Martin Lings menyusun buku ini. Selain dari kedua penulis klasik itu, Martin Lings juga mengambil sumber dari karya-karya Muhammad Ibnu Sa’ad (At-Thabaqatul Kabir), Muhammad Ibnu Umar Al-Waqidi (Al-Maghazi), Muhammad Ibnu Jarir At-Thabari (Tarikhurrosul wal Muluk), dan dari berbagai kitab kumpulan hadits. Usaha Martin Lings ini manarik, bahwa beliau sama sekali tidak mengambil apa-apa dari para penulis Barat (orientalis). Inilah yang membuat karya ini berbeda dari kebanyakan shirah yang lain, apalagi bila dibandingkan dengan karya-karya para orientalis. 

Namun begitu, Martin Lings tidak kehilangan ciri khasnya sebagai seorang penulis Barat. Cara penuturannya dalam buku ini tetaplah cara bertutur penulis Barat. Inilah yang membuat karyanya ini begitu hidup. Ditulis menjadi jalinan cerita perjalanan hidup yang kontinu dan tidak monoton, seperti layaknya novel. Di beberapa tempat, Martin Lings juga memberikan catatan dan penjelasan khusus terkait konteks peristiwa dan beberapa keterangan tambahan dan komentar. Patut pula diapresiasi usaha sang penerjemah, Qamaruddin SF. Dalam edisi Indonesia karya ini tak kehilangan “jiwanya” sebagai hasil tulis seorang cendekiawan Barat.

Kelebihan lain karya ini adalah tuturannya yang sederhana.  Inilah yang menjadikan buku biografi ini dapat dengan mudah dimengerti kalangan luas. Mulai dari remaja belasan tahun hingga orang dewasa. Dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti, karya ini menjadi penting perannya bagi pembaca awam yang ingin mengenal sosok Nabi Muhammad, apalagi untuk remaja. Sungguh tak rugi jikalau Pembaca sekalian mengoleksi buku ini, apalagi kawan-kawan sesama muslim. Selamat Membaca!

Depok, 17 April 2011
    

Minggu, 20 Februari 2011

Surau Bambu Pinggir Kali


Amboi, panas nian hari siang begini. Setiap orang lalu lalang tampaknya punya kelakuan sama denganku. Sebuah koran atau apapun yang cukup lebar dikibas-kibaskan. Kata orang jawa sumuk gak ketulungan. Tetap saja keringat itu menetes mengikuti sistem yang telah ter-install rapi di tubuhku. Bah, cari becak sajalah.

Ada aku hampiri tukang becak yang tampak cukup kuat. Aku tak mau cari yang tua, kasihan. Umur kutaksir empat puluhan, otot berisi pula. Aku dekati dan aku tawar-tawar. Ditanyanya aku hendak ke mana. Aku jawab ke desa yang di pinggir kecamatan. Mafhumlah aku si bapak tukang becak mengernyit. 

“Ya, itu desa mana? Kan banyak desa to.” 

Sak kersanipun sampean mawon lah Pak.”[i]

Beliau menggaruk-garuk kepalanya. Aku memang tak ada tujuan, musafir yang pergi kemana saja. Dan aku tak sebegitu mengenal daerah ini. Tadi hanya aku lihat nama kecamatan Sukoarjo, di bawah sebuah banner toko bangunan. Lalu aku lihat sekeliling dan menemukan sebuah bukit. Waktu aku lihat kompasku bukit itu di arah selatan. Apa aku ke sana saja? Tapi mau apa?

“Ke sana sajalah, Pak. Bukit itu.”

“Tiga puluh ribu.”

Aduh, apes nasibku. Cuma tersisa lima belas ribu saja di kantongku. Aku tawar-tawar akhirnya. Rupanya si bapak tukang becak tak mau. Aku lihat mukanya agak memerah. Tiga puluh ribu aku tawar lima belas ribu, bathi apa?![ii] beliau menghardik.

“Tak punya uang tak usah tawar-tawar becak, jalan saja!”

Allah... aku dekapkan tanganku, meminta maaf dan segera berlalu. Ya sudahlah, aku cari masjid saja dulu. Sholat dhuhur dan istirahat sebentar. Kutemukan masjid tak seberapa besar setelah jalan beberapa ratus meter. Masjid Al-Amien namanya. Aku masuk. Ah, aku sandarkan punggungku pada tiang masjid dan kutaruh tasku di sampingnya. Alhamdulillah...

Aku tilik ke dalam, o, masih ada yang wiridan[iii] di dalam. Aku segera sholat sajalah. Dan selesai sholat dan wiridan aku keluar dan duduk-duduk di serambi. Ada kulihat koran di pojokan dekat kentongan[iv]. Aku baca sepertinya tak ada yang melarang. Kubuka-buka, ternyata koran hari ini. kutilik headline utamanya, tampaknya menarik. Sebentar aku baca, astaghfirullah....

Di suatu daerah di sana ada jemaah yang diserang karena sesat.